Dengan menyusuri pantai, kami menikmati perjalanan. Ada beberapa tempat menarik yang kami lalui, antara lain : WBL (Wisata Bahari Lamongan), objek wisata Goa Maharani dan perkampungan nelayan Berondong Lamongan.
Tujuan pertama kali ini adalah MASJID / PONDOK PESANTREN ASCHABUL KAHFI PERUT BUMI AL MAGHRIBI yang berada di daerah Tuban.
Tempatnya lumayan mudah diakses. Ketika akan memasuki kota Tuban, kita nggak boleh langsung masuk, tetapi diarahkan untuk belok kiri. Setelah belok kiri, ambil lajur sebelah kanan. Nggak lama kemudian, belok kanan di pertigaan besar dimana ada boulevard di tengah jalan.
Posisi pondok pesantren tersebut berada di sebelah kiri, nggak jauh dari pertigaan.
Aku nggak begitu paham kenapa jalan di depan ponpes itu sangat lengang. Mungkin itu bukan jalan ringroad-nya kota Tuban. Tapi yang jelas suasananya lumayan hening.
Saat kami datang ada beberapa rombongan yang datang dengan mengendarai beberapa mobil kecil. Ada yang keluar, ada yang masuk.
Berhubung kami bukan santri yang suka mengikuti pakem, begitu nyampe, kami nggak langsung masuk, tapi cari kamar mandi buat pipis dan … nongkrong di warung kopi.
Qiqiqi … ngelak (haus).
Nongkrong di warung kopi
ki-ka : Bp. H. Mul, Bp. H. Narto, Bp. Ruslan, Bp. H. Sholeh, Pakde Samsuri, Bp. Sholeh,
aku, Om Puji, Ustadz Asif dan Bp. H. Achmad
ki-ka : Bp. H. Mul, Bp. H. Narto, Bp. Ruslan, Bp. H. Sholeh, Pakde Samsuri, Bp. Sholeh,
aku, Om Puji, Ustadz Asif dan Bp. H. Achmad
Saat kami akan masuk, datang satu rombongan dengan mengendarai beberapa bis berukuran besar.
Alhasil, suasana didalam menjadi agak riuh dengan suara orang berdzikir.
Saat melalui pintu masuk, kami diwajibkan untuk salam (walaupun nggak ada yang menjaga) dan melepas alas kaki. Sebelum memasuki areal utama dalam masjid, kami juga diwajibkan ber-wudlu.
Subhanallah …
Ternyata ruang dalam masjid sungguh menakjubkan. Lantainya sudah dirabat, sehingga terlihat rata. Sedangkan dinding dan langit-langit nggak beraturan mengikuti bentuk goa. Ditambah lagi dengan penataan lampu warna-warni, membuat areal ini sungguh indah.
Udara juga nggak terasa lembab banget. Nggak seperti udara didalam goa pada umumnya.
Namun sayang, guide-nya yang notabene adalah santri setempat, dari awal sampe akhir ngomongnya pake bahasa jawa halus. Aku nggak ngerti blas. Gimana kalo yang datang bule ya?
Yang aku tau sekilas sih, dia menerangkan silsilah (nggak tau silsilahnya siapa) dan menerangkan proses penemuan dan pembangunan ponpes tersebut.
Semoga kedepannya, panitia pembangunan ponpes menyediakan buku-buku yang membahas ini semua. Dan semoga ditulis dalam bahasa Indonesia (hehehe …). Karena menurutku ini semua sangat-sangat menarik.
Setelah selesai mendengarkan penjelasan dari mas santri tadi, kami dipersilahkan untuk melihat-lihat ponpes.
Walaupun udah terpasang tulisan dilarang mengambil foto di beberapa tempat, banyak tamu yang nekad berfoto ria. Karena nggak ada yang menegur, akhirnya kami pun ikut-ikutan.
Hehehe …. biasa ….
Lagipula, masak tempat seindah itu nggak boleh diabadikan buat kenang-kenangan.
Setelah berfoto ria, kami pun berkeliling di luar goa, tetapi masih dikawasan ponpes.
Ternyata belum seluruh areal tersebut selesai dibangun. Masih banyak juga yang belum tersentuh untuk dibangun.
Yang aneh, di beberapa tempat ada tulisan “Wajib salam”. Kata Bapak-Bapak sih, disitu ada beberapa jin yang sedang berkumpul. Nggak ngerti jin-jin itu udah tinggal lama sebelum ponpes itu terbentuk ataukah mereka sedang nyantri di ponpes tersebut. Makanya kita disuruh salam.
Selain salam, aku juga berusaha mengambil posisi ditengah-tengah rombongan.
Qiqiqi …
Setelah puas berkeliling dan sempat nyasar-nyasar (lha wong nggak ada satupun manusia yang bisa ditanyain), akhirnya kami menemukan pintu keluar.
Alhamdulillah.
Sebelum naik mobil andalan kami, Bapak-Bapak sempat beli air dari sumber mata air didalam goa yang konon berkhasiat menyembuhkan sejumlah penyakit. Air tersebut udah dimasukkan kedalam botol plastik dan dijual di koperasi ponpes yang terletak di dekat pintu keluar.
Kami pun melanjutkan perjalanan.
Tujuan kedua adalah GOA AKBAR yang letaknya nggak begitu jauh dari MASJID/PONDOK PESANTREN ASCHABUL KAHFI PERUT BUMI AL MAGHRIBI.
Pintu masuk goa ini berada di tengah kota, di belakang pasar.
Dikarenakan saat menuju lokasi, kami nyasar kemana-mana, alhasil aku nggak begitu paham gimana arah yang benar menuju goa tersebut.
Setelah Bp.Puji Hardjono membayar tiket, kami pun dipersilahkan masuk areal halaman goa. Di kiri-kanan tampak beberapa prasasti buatan.
Sebagai catatan Bp.Puji adalah pimpinan rombongan kami. Beliau sendiri adalah ketua tim penggerak … huru-hara.
Qiqiqi …
Ternyata goa tersebut terletak dibawah tanah.
Untuk masuk kedalam goa, kami harus melewati tangga beton yang dibuat berkelok-kelok agar nggak terjal.
Didalam goa, hampir sepanjang perjalanan, kami harus berjalan diatas jembatan beton yang dibawahnya ada genangan air selebar kira-kira satu meter. Jembatan itu menghubungkan satu daratan dengan daratan lainnya yang berada didalam goa.
Panjang rute yang kami lalui adalah lebih dari satu kilometer.
Lumayan ngos-ngosan sih. Disamping udah lama nggak jalan kaki, udara didalam goa juga lumayan lembab.
Walaupun diatas goa merupakan tengah kota Tuban yang sangat ramai dan sibuk, tapi suasana didalam goa lumayan sunyi.
Dilangit-langit goa terlihat kelelawar yang sedang bergelantungan.
Akhirnya kami menunaikan sholat Dhuhur berjamaah di mushola yang terletak di lubang keluar goa.
Suasana di luar Goa Akbar
Suasana di dalam Goa Akbar
Prasasti yang terletak di dekat lubang keluar goa
Sebelum melanjutkan ke tujuan berikutnya, kami makan siang di salah satu rumah makan yang letaknya nggak jauh dari Ponpes Perut Bumi.
Tujuan ketiga adalah ke rumah Bp.Puji yang berada di Bojonegoro (aku lupa nama desanya).
Eits, jangan salah. Tempat ini nggak kalah penting dan hukumnya wajib untuk dikunjungi, soalnya Mbah Uti udah bikinin lele bakar.
Hehehe …
Selain itu juga, Papa dan Bp.Puji khan satu petilasan. Maksudnya sama-sama orang Bojonegoro. Cuman bedanya, kalo dari arah Surabaya, desanya Papa berada setelah kota Bojonegoro. Sedangkan desanya Bp.Puji berada sebelum kota Bojonegoro.
Aku jadi ngerasa pulang kampung gitu deh …
Kami berada disana lumayan lama. Bapak-bapak bergantian mandi. Disamping gerah selama perjalanan, juga airnya yang seger.
Kami juga menunaikan sholat Ashar di mushola yang berada didekat rumah.
Suasana disana juga lumayan tenang. Posisi rumah berada di ujung jalan. Setelah rumah adalah kebun (kalo diliat-liat sih lebih kayak hutan). Sehingga nggak banyak orang lalu-lalang.
Aku kerasan banget. Saking kerasannya, aku sampe e’ek disana.
Hahaha …
Cuman ada satu kendala. Aku nggak bisa bahasa Jawa halus, jadi nggak bisa ngobrol asyik ama Mbak Kakung dan Mbah Uti. Kalo ngobrol pake bahasa Indonesia, ntar dianggap nggak sopan.
Lagian aku ngeliat Bp.Puji kalo ngobrol ama ortunya pake bahasa Jawa halus. Masak aku berbahasa Indonesia sih ?!!
Tapi nggak apa-apa. Meskipun nggak bisa berkomunikasi asyik, aku diijinkan menghabiskan satu biji lele bakar yang berukuran gede.
Qiqiqi ….
Mbah Uti, kapan-kapan kalo bikin lele bakar lagi, undang kami yaa …
Setelah dirasa pantas untuk SMP-YPK (Setelah Makan, Pulang – Yang Penting Kenyang), kami pun berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.
Jam menunjukkan sekitar jam 5 sore.
Di perjalanan, setelah terdengar adzan, kami menunaikan sholat Maghrib berjamaah di salah satu masjid di Lamongan.
Tujuan keempat dan yang terakhir adalah MAKAM MAULANA MALIK IBRAHIM atau yang lebih dikenal dengan nama SUNAN GRESIK.
Makam ini berada ditengah kota Gresik dekat alun-alun.
Sebelum masuk kedalam areal makam, kami menunaikan sholat Isya’ berjamaah di masjid yang berada di depan kompleks makam.
Meskipun didepan terlihat lengang, ternyata didalam sangat ramai orang berziarah.
Seperti di makam-makam Waliyullah yang lainnya, para peziarah duduk berkelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seseorang yang memimpin berdzikir.
Biasanya mereka adalah merupakan kelompok pengajian dan pemimpin mereka biasanya adalah seorang kyai atau ustadz.
Meskipun begitu, kita boleh kok datang sendirian kesana dan ikut bergabung dengan mereka.
Aku sendiri kalo ke makam-makam Waliyullah dengan beberapa orang temanku, biasanya baca-baca do’a dan dzikir yang aku hadiahkan untuk ahli kubur. Kemudian berdiam diri sambil menikmati suara dzikir yang saling bersahutan. Seperti berada di tepi pantai sambil mendengarkan deburan ombak.
Karena saat ini datang dengan Bapak-Bapak, maka aku ikut apa yang dilakukan Bapak-Bapak. Rombongan kami dipimpin oleh Bp.Soleh.
Kok Bp.Soleh sih? Apakah Beliau adalah seorang Kyai?
Bukan.
Apakah Beliau adalah seorang Ustadz?
Bukan.
Beliau adalah seorang Ketua Remas.
Eh, enggak ding. Beliau adalah Ketua Takmir Masjid Al-Muhajirin.
Lagipula yang mempimpin khan nggak harus kyai atau ustadz kok. Siapa aja boleh.
Setelah dirasa puas berdzikir, kami meninggalkan areal makam. Sementara itu, terlihat banyak rombongan yang keluar-masuk bergantian.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami berpencar. Ada yang ngopi di warung yang berada di depan pintu makam. Ada pula yang mencari souvenir dan oleh-oleh di pasar yang berada di samping tembok makam.
Sekitar 30 menit kemudian, kamipun melanjutkan perjalanan untuk pulang.
Eh, di perjalanan kami menyempatkan diri untuk mampir di toko oleh-oleh yang terletak di depan Gedung Semen Gresik.
sumber : http://dtnotes.wordpress.com/2011/06/22/jalan-jalan-ke-ponpes-perut-bumi/
0 comments:
Posting Komentar