Mekah - Sepotong kain bisa berubah menjadi azimat. Dulu, imajinasi kanak-kanak saya mempercayai hal itu. Ketika menonton seorang jawara di pasar malam yang sama sekali tak terluka setelah menyabetkan parang berulang-ulang ke tubuhnya sendiri, anak-anak bersorak. Mereka begitu percaya pada kabar yang ditiupkan: ilmu kebal sang jawara didapat dari jimat yang tersimpan di ikat pinggangnya. Apa itu? Kain Ka'bah.
Saya tak tahu entah diapakan sobekan kiswah atau kain Ka'bah itu
sehingga tubuh pemakainya tak pernah berdarah. Seseorang menyebutkan
kain itu dicelupkan ke air putih sebelum air ini ditenggak sang jagoan.
Entah sudah berapa puluh kali »air sakti” itu diminum sehingga kain
tersebut tampak putih kusam. Tak terpikir dalam benak kanak-kanak bahwa
mustahil selubung Ka'bah tersebut berwarna putih, kecuali selebritas
pasar malam tersebut hidup di zaman Nabi Muhammad yang memang memilih
kain putih dari Yaman untuk menutup Ka'bah.
Bagaimana mungkin ia bisa menyobek kiswah yang sebenarnya tebal itu?
Kiswah juga tampak begitu kuat dengan cincin-cincin yang mengunci di
kaki-kaki bangunan Ka'bah yang bertinggi 14 meter itu. Di sekeliling
Ka'bah, polisi dengan mata nyalang juga mengawasi dengan ketat setiap
anggota jemaah yang berbuat ganjil. Setiap bidah yang bisa menggiring
kepada kemusyrikan tak mendapat tempat di Tanah Suci.
Tapi, apa yang mustahil di tangan anak-anak? Semua tampak hidup di
alam pikiran anak-anak. Dalam alam pikiran para bocah ini, rebusan kain
ini tak cuma punya tuah ilmu kebal, tapi juga bisa menyembuhkan
rupa-rupa penyakit. Pendek kata, kain ini tergolong jimat sapu jagat.
Semua bisa, meski tak pernah terbuktikan.
Imajinasi kanak-kanak yang mengundang senyum inilah yang muncul
kembali dalam ingatan ketika saya mengunjungi pabrik pembuatan kiswah
di kawasan Ajyad di Mekah, Arab Saudi, pertengahan April lalu.
Kunjungan ini dilakukan setelah 22 orang pengajar universitas dan
pesantren dari berbagai daerah yang diundang Kedutaan Besar Arab Saudi
di Indonesia melaksanakan ibadah umrah pada pertengahan April lalu.
Saya jelas punya kesempatan lebih besar dibanding jawara pasar malam
itu untuk mendapatkan potongan kiswah. Tak cuma melihat, saya bisa
memegangnya langsung, nyaris tanpa pengawasan. Saya juga dengan mudah
bisa mengambil gulungan benang sutra, bahan pembuatan kiswah, dari
puluhan mesin pemintal yang berbaris rapi di pabrik yang telah berdiri
selama 30 tahun itu. Saya bisa merasakan kelembutannya, bahkan mencium
aroma pintalannya. Saat itu, kesempatan menggenggam ”ilmu kebal”
benar-benar berada di depan mata.
Tapi saya justru lebih terpesona menyaksikan gerakan puluhan seniman
yang menyulam secara manual kain tersebut ketimbang tenggelam dalam
mitos masa kecil. Ada 285 karyawan, dari yang bertugas menenun, memberi
warna hitam, emas, dan perak, lalu membuat kaligrafi, merajut kain
dasar, kemudian memprogram kalimat-kalimat tauhid di komputer sebelum
ditorehkan ke permukaan kain, hingga tugas para penyulam itu. Mereka
tampak khusyuk menikmati setiap jalinan benang yang ditisikkan ke dalam
kain hitam.
»Mereka bekerja penuh konsentrasi, tak boleh salah,” kata Ali bin
Suud, juru bicara pabrik kiswah yang berada di bawah Jawatan Wakaf
Kerajaan Arab Saudi itu. Saya melihat tak jauh dari Ali, seorang
karyawan yang terbatuk-batuk dan menghentikan pekerjaannya. Segera
terpikir, ia yang sehari-hari menyentuh kain yang dalam bayangan masa
kecil seharusnya ”menyembuhkan” itu ternyata terserang flu. Ah,
berantakan sudah imajinasi yang telah bertahan bertahun-tahun.
Di pabrik dengan luas 10 hektare itu, 85 penyulam bekerja
menyelesaikan dua kiswah setiap tahun. Satu kiswah dipasang di bangunan
yang menjadi kiblat umat Islam seluruh dunia itu. Tingginya 14 meter
dan memiliki lebar 7,5 meter pada tiap sisinya. Jadwal pemasangan
kiswah itu selalu tetap: tiap tanggal 9 Zulhijah, ketika jemaah haji
berangkat ke Arafah untuk memulai rangkaian ibadah haji. Kiswah satu
lagi? ”Jadi cadangan, digunakan jika kain yang pertama cacat atau robek
ketika dipasang.”
Puluhan seniman itu menyulam selama 8,5 bulan. Mereka mengerjakannya
dalam 47 potong kain. Sebagian mengerjakan potongan kain yang
bertulisan kalimat syahadat, sebagian lagi menyulam surat Ali Imran
ayat 96, Al-Baqarah ayat 144, surat Al-Fatihah, dan surat Al-Ikhlas.
Ada pula yang merajut asma-asma Allah yang dimuliakan. ”Pengerjaannya
per bagian, lalu dijahit menjelang dipasang di Ka'bah,” kata Ali.
Seluruh proses itu membutuhkan 999 gulung benang sutra yang jika
dibentangkan panjangnya lebih dari satu kilometer per benang. Berat
benang sutra tersebut mencapai sekitar 670 kilogram. Ini belum termasuk
bordir yang berisi 15 kilogram benang emas. Lantaran menggunakan bahan
baku yang sangat berharga seperti sutra, emas murni, maupun perak,
harga produksi kiswah pun sangat mahal, sekitar Rp 50 miliar!
Dari mana sutra-sutra mahal itu didapat? ”Sutra diimpor dari Italia,
mesin pemintalnya dari Swiss,” kata Ali. Sutra terbaik Italia berpusat
di Provinsi Firenze, sebuah daerah yang sering disebut sebagai ”ibu
kota Eropa untuk komoditas sutra dan wol”. Firenze, yang berpusat di
Florence, tak seperti kota Roma yang menyerap semua unsur-unsur Romawi
kuno maupun modern. Firenze menolak semua pengaruh non-Renaissance.
Firenze pernah menjadi ibu kota Italia di abad ke-19.
Jika kini pemerintah Saudi lebih memilih Italia sebagai ”kiblat”
sutra buat kain Ka'bah, penguasa tanah Hijaz (Arab Saudi) zaman dulu
ternyata memilih kain dari Yaman, Irak, atau Mesir. Ka'bah pertama kali
»berpakaian” pada 2.500 tahun silam, ketika suku Jurhm dari Yaman
menguasai tanah Hijaz. Raja Tuba dari Hymir, Yaman, memasang kiswah
berwarna merah yang didatangkan dari negeri itu.
Pada zaman leluhur Muhammad, pemasangan kiswah menjadi tanggung
jawab masyarakat Arab dari suku Quraisy. Keluarga Abdul Muthalib, kakek
nabi yang mendapat amanat menjaga Ka'bah, menyelubungi Ka'bah dengan
kain putih dari Yaman. Pemasangan kain itu bertujuan melindungi dinding
Ka'bah dari kotoran, debu, serta panas. Kiswah juga berfungsi sebagai
hiasan.
Ketika Mekah diambil oleh kaum muslimin, mereka memutuskan untuk
menanggalkan kiswah. Tapi kebakaran besar di sekitar Ka'bah membuat
Nabi kembali memerintahkan agar Ka'bah dibungkus dengan kain putih dari
Yaman. Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengikuti tradisi
menyarungi Ka'bah dengan memilih kain Koptik berwarna putih dari Mesir.
Situs Emel.com menulis, kain halus ini dihasilkan oleh keturunan
Kristen dari masyarakat Mesir kuno. Saat itu komunitas Kristen Koptik
memang dikenal sebagai perajin kain dengan cita rasa seni yang tinggi.
Berikutnya, seiring bergantinya khalifah, Ka'bah pernah bersalin
baju dengan rupa-rupa warna: merah, kuning, hijau, dan hitam. Jadwal
pemasangannya pun pernah di bulan Muharam dan Ramadan. Namun, sejak
Khalifah al-Mamun dari Dinasti Abbasiyah berkuasa, warna kiswah
ditetapkan tak berubah dari waktu ke waktu: hitam. Lalu, pada 1340,
tradisi pembuatan bordir diperkenalkan oleh penguasa Mesir.
Sumber : tempo.co
0 comments:
Posting Komentar